Sabtu, 13 Juni 2009

Propaganda Indische Partij

Propaganda

INDISCHE PARTIJ

Setelah berrdirinya partai itu pada 6 September 1912, langkah pertama yang ditindakkan para pengurusnya adalah mengadakan perjalanan keliling Jawa untuk berpropaganda. Perjalanan itu dimulai dari Bandung oleh E.F.E. Douwes Dekker, Brunsveld van Hulten dan Van der Poel. Tujuan pertamanya ialah Yogyakarta, untuk diteruskan ke Surakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Tegal, Pekalongan dan Cirebon serta kota-kota lain di Jawa Barat.

Dalam perjalanan yang berlangsung antara 15 September s.d. 3 Oktober tersebut tim pengurus mengadakan rapat di setiap kota yang disinggahi. Segera nyata bahwa sambutan masyarakat dan para pemimpin pergerakan masa itu sangat antusias, dibuktikan dengan hadirnya banyak pemimpin pergerakan dalam rapat dan banyaknya perhimpunan yang mengirimkan wakilnya. Tercatat perhimpunan yang menyokong berdirinya IP adalah Budi Utomo, Insulinde, Sarekat Islam, Kartini Klub, Mangunhardjo, dan Perhimpunan Tionghoa Hweekwan.

Para tokoh perhimpunan pun banyak pula yang terjun langsung membantu IP, di antaranya dr. Tjipto Mangunkusumo, R.M. Suwardi Suryaningrat, dan Abdul Haris dari Bandung sebagai ketua cabang sarekat Islam di kota itu. Lebih dari itu terdapat pula beberapa tokoh yang sangat berpengaruh di masyarakat: R. Pramu di Semarang; R. Soleiman di Boyolali; R. Jayadiningrat (saudara Bupati Serang) di Serang; Redaktur surat kabar “Jawa Tengah”, harian “Pengaman”, dan “Tjahaja Timoer” di Malang dengan pimpinan R. Djojo Sudiro; dan G. Topel, seorang anggota pengurus besar Insulinde.

Sesuai dengan nama perkumpulan itu sendiri, IP menawarkan kesempatan menjadi anggota partai kepada masyarakat luas, yaitu kepada siapa pun yang merasa memiliki tanah air Hindia, yang merasa lahir, hidup, dan akan berpulang di negeri ini. Barang siapa tak dapat masuk perhimpunan Budi Utomo (karena kebetulan ia bukan orang Jawa), maka ia dapat diterima menjadi anggota IP. Demikian pula bagi mereka yang non-muslim (yang tak mungkin menjadi anggota Sarekat Islam).

Adalah masih dalam rangka propaganda juga ketika perhimpunan itu berusaha menarik para anggota Insulinde untuk menjadi anggota IP. Pada saat itu Insulinde telah menjadi organisasi yang kecil karena banyak anggotanya mengundurkan diri, terutama yang “Indo-Belanda totok”. Yang terakhir ini keluar dari keanggotaan karena tak mau bergabung dengan Bumi Putera. Rapat gabungan antara E.F.E. Douwes Dekker, Brunsveld van Hulten dan Van der Poel dengan para pengurus Insulinde pada 17 September 1912 menghasilkan peleburan Insulinde ke dalam IP. Sayangnya – meski antara kedua perkumpulan itu memiliki kesamaan azas - Mr. Jeekel tak dapat menerima keputusan para sejawatnya. Sebagai ketua akhirnya ia mengundurkan diri dan keluar dari keanggotaan Insulinde, untuk selanjutnya membentuk perkumpulan lain bernama “Het Nederlandsch Indische” yang pada akhirnya samasekali tidak berkembang.

Tetapi keberhasilan IP meraih DIB tidaklah sesukses meraih Insulinde. Rapat gabungan antara kedua perkumpulan itu pada 28 Oktober 1912 tidaklah menghasilkan apa-apa – bahkan dinilai gagal – karena memang sejak awal azas dan tujuan keduanya berbeda.

De Express dan Het Tijdschrift

Tetapi kegagalan dengan DIB bukanlah sesuatu yang berarti bagi IP. Propaganda demi propaganda yang mereka lakukan membuat jumlah anggota terus bertambah dari hari ke hari. Corong perkumpulan mereka – Koran De Express dan Het Tijdschrijft yang diketuai Douwes Dekker – digunakan secara optimal untuk menarik calon anggota lebih banyak.

Sedikit melihat ke belakang, De Express didirikan Douwes Dekker tanggal 1 Maret 1912 setelah ia meninggalkan Bataviaasch Newsblad pimpinan Jaalberg yang terlalu mementingkan golongan Indo. Sejak berdirinya harian itu Douwes Dekker menyediakan ruangan khusus dalam koran itu untuk propaganda Budi Utomo. Ia menggunakannya sebagai corong bagi cita-cita politiknya. Dan suaranya pun kian bergema manakala ia memimpin pula majalah bulanan Het Tijdschrift.

Teristimewa sejak bulan Maret itu para pembaca telah disuguhi tulisan-tulisan dan opini yang isinya seolah merupakan ancang-ancang pimpinannya untuk mendirikan suatu partai yang bersifat nasionalis. Tulisan-tulisan dan opini itu pada dasarnya isinya berkisar pada tiga hal yang saling berhubungan:

  1. Pelaksanaan suatu program Hindia untuk setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan kolonialisme;
  2. Menyadarkan golongan Indo dan penduduk bumi putera bahwa masa depan mereka terancam oleh bahaya yang sama, yaitu eksploitasi kolonial;
  3. Alat untuk melaksanakan hal-hal tersebut (1 dan 2) ialah dengan membentuk suatu perhimpunan yang bersifat nasionalisme.

Maka berdirinya IP pada 6 September 1912 seolah merupakan pengejawantahan dari apa yang telah pimpinannya rencanakan lewat opini-opini di kedua mass media itu, dan tampak kini seakan IP merupakan kekuatan nyata untuk melaksanakan segala program yang telah diutarakan.

Tak heranlah jika berdirinya IP akhirnya memancing dan mengundang perhatian masyarakat luas, karena sejak berbulan-bulan sebelumnya mereka telah mengira bahwa organisasi semacam ini akan muncul dari orang yang selama ini mereka kenal sebagai cucu dari kakak tertua Ernest Douwes Dekker (Multatuli, pengarang Max Havelaar) yang keberpihakannya pada kaum bumi putera tak diragukan lagi.

Kini, setelah IP eksist di tengah kanca politik, organisasi itu pun secara bebas dan terbuka menyiarkan propaganda partai, disisipi pula dengan tulisan dan opini-opini yang membangkitkan rasa cinta tanah air kepada semua Hindia Putera, dan ajakan menggalang kerjasama yang erat antara mereka demi kemerdekaan yang tengah diperjuangkan. Tak urung pula di dalam harian dan bulanan itu para pemimpinnya membeberkan cita-cita politiknya, bercampur dengan kecaman-kecaman terhadap poltik pemerintah.

Dr. Tjipto dan Suwardi Suryaningrat

Seluruh apa yang disuarakan IP lewat berbagai macam cara itu agaknya bersesuaian benar dengan jiwa dr. Tjipto Mangunkusumo yang sejak 1909 meninggalkan Budi Utomo akibat perbedaan paham dengan dr. Radjiman Wedjodipuro. Dokter yang berwatak keras dan tak pernah kenal takut itu telah lama menahan diri untuk berpolitik tegas, dan meng-inginkan adanya perhimpunan seperti IP. Agaknya dr. Tjipto tidak sendiri. Ia mendapat dukungan moril dari sahabatnya, Suwardi Suryaningrat, bangsawan dari Pura Paku-alaman, Yogyakarta, yang berwatak keras dan tegas namun amat lembut dalam penam-pilan.

Kedua orang yang dikenal sangat revolusioner itu sangat berkenan di hati Douwes Dekker sehingga menyambut keduanya ketika menyatakan diri berniat menggabung dalam IP. Sehinggalah sejak Desember 1912 ketiganya menjadi pengurus harian De Express, dan koran itu pun berubah haluan menjadi nasionalistis-revolusioner sesuai dengan watak pengendalinya terhadap persoalan Hindia.

---0---

Kamis, 11 Juni 2009

Kitab Sutasoma

Kitab
SUTASOMA
Kitab Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389). Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’ republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:
Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva
Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,
Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,
Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan bebasnya:
Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa
Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu
Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya
Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal
Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua.
Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, samasekali jauh hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.
Lebih jauh, kitab itu pun bukanlah kitab keramat atau pantas dikeramatkan. Mpu Tantular tidak memaksudkannya sebagai kitab tempat orang berguru untuk menyelenggarakan pemerintahan di suatu Negara. Kurang-lebihnya ia adalah kitab yang bernuansa Buddha, dan menceritakan sebuah kisah yang diharapkan dapat diteladani oleh umat Buddha. Kisah tersebut adalah mengenai seorang pemuda bernama Raden Sutasoma. Dari nama tokoh utama tersebutlah kitab tersebut mendapatkan judulnya.
Adapun kisah ringkasnya:
Sang Buddha menjelma ke dunia sebagai Raden Sutasoma putra raja Mahaketu dari kerajaan Hastina. Putra raja tersebut sangat alim dan taat menjalankan berbagai perintah agama Buddha, dan selalu belajar untuk memperdalam pengetahuan agamanya. Setelah cukup umur, oleh ayahandanya ia diperintahkan untuk menikah, dan selanjutnya menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai raja. Akan tetapi titah ayahandanya ia tolak dengan halus. Ia belum ingin menikah ataupun menduduki singgasana Hastina, karena merasa pengetahuannya tentang agama masih terasa amat kurang.
Guna menghindari desakan lebih jauh dari ayahandanya, pada suatu malam Raden Sutasoma dengan diam-diam pergi meninggalkan istana. Tujuannya adalah ke gunung Himalaya, untuk bertapa sambil belajar agama Buddha pada para pertapa yang ditemuinya di sana. Setelah tiba di tujuan, ia mendapat berita dari seorang pertapa bahwa ada seorang raja bernama Purusaha atau Kalmasa, seorang raja penjelmaan raksasa, suka sekali memakan daging manusia.
Adapun mengapa Purusaha suka memakan daging manusia, ceritanya adalah sebagai berikut:
Suatu ketika juru masak raja tersebut kehabisan akal karena persediaan daging untuk makanan raja habis dimakan anjing. Ia telah berusaha keras mencari gantinya, namun tidak berhasil. Karena sangat takut akan murka sang Purusaha, ia terpaksa mengambil daging orang yang belum lama mati, dan memasaknya untuk baginda.
Tatkala baginda bersantap, ia merasa masakan itu sangat nikmat lebih dari masakan-masakan yang dihidangkan juru masak pada waktu-waktu sebelumnya. Maka ia pun memanggil sang juru masak, dan menanyakan apa sebabnya masakan yang ia santap menjadi selezat itu. Juru masak yang ketakutan akhirnya terpaksa berkata terus-terang tentang daging apa yang telah diolahnya di dapur istana.
Baginda ternyata tidak marah, bahkan memerintahkan untuk memasak daging-daging manusia lainnya, karena ia sangat menyukai daging jenis itu. Bertahun-tahun kebiasaan Purusaha berlangsung, bertahun-tahun pula rakyat baginda bermatian di dapur sang raja untuk memuaskan kerakusannya. Akibatnya penduduk negeri baginda tinggal sedikit karena habis dilalap raja atau mengungsi ke negeri lain yang rajanya tidak doyan makan orang.
Pada waktu Raden Sutasoma bertemu dengan pertapa itu, Purusaha atau Kalmasa sedang sakit, dan tinggal di sebuah hutan sebagai seorang raksasa. Ia berjanji jika sakitnya kelak sembuh, maka ia akan melakukan kurban seratus orang raja untuk dipersembahkan kepada dewa Kala.
Pertapa yang bercerita itu mohon kepada Raden Sutasoma untuk membunuh raksasa tadi. Tetapi Raden Sutasoma menolak permohonan itu.
Maka sang Sutasoma pun pergi dari tempat pertapa itu untuk melanjutkan perjalanan berkelana untuk berguru kepada pertapa-pertapa lain. Dalam perjalanan ini ternyata ia bertemu dengan seorang raksasa berkepala gajah. Raksasa itu mengancam akan membunuh Raden Sutasoma. Tetapi berkat kearifan dan ilmu yang dimilikinya sang pangeran dapat menundukkan raksasa tersebut dan memberinya pelajaran tentang agama Buddha. Setelah itu keduanya lalu melanjutkan perjalanan bersama.
Dalam perjalanan itu berselang beberapa waktu kemudian Raden Sutasoma melihat seekor harimau hendak menerkam anaknya sendiri. Sang pangeran segera mendapatkan harimau tersebut dan menasehati agar sang harimau mengurungkan niatnya. Karena harimau tersebut bersikeras hendak melaksanakan niatnya maka Sutasoma menawarkan dirinya menjadi mangsa sang harimau agar anak harimau tersebut terhindar dari maut. Tawaran tersebut diterima sang harimau, dan ia pun menerkam sang pangeran.
Tewasnya Raden Sutasoma membuat harimau tersebut menyesal dan amat masygul akan tindakannya. Saat itu datanglah dewa Indra ke tempat terjadinya peristiwa itu dan sang pangeran dihidupkan kembali. Harimau lantas menyerahkan diri kepada sang pangeran, bahkan menyatakan diri bersedia menjadi muridnya.
Dari sini Sutasoma melanjutkan perjalanannya kembali dan akhirnya bertapa di gunung Himalaya. Setelah masa bertapa selesai, ia pun kembali ke istana ayahnya di Hastinapura. Belum lama kemudian datanglah ke negeri itu para raksasa pengikut raja Purusada untuk meminta perlindungan. Mereka menghaturkan sembah pada Raden Sutasoma dan menyatakan bahwa mereka baru saja mengalami kekalahan dalam perang melawan raja Dasabahu. Tatkala raja Dasaahu mengetahui bahwa Sutasoma memberikan perlindungan kepada musuh-musuhnya, ia menjadi sangat marah. Tetapi manakala akhirnya ia mengetahui bahwa ia dan keluarga kerajaan Hastina masih memiliki hubungan keluarga, maka kemarahannya pun reda bahkan ia bersedia menikahkan adik perempuannya dengan Raden Sutasoma. Tak lama setelah menikah lalu sang pangeran dinobatkan oleh ayahandanya menjadi raja Hastina. Sejak itu duduklah Raden Sutasoma di atas tahta kerajaan Hastina.
Sementara itu, raja Purusada telah sembuh dari sakitnya. Ia menepati janjinya dengan menangkap seratus orang raja untuk dipersembahkan sebagai kurban kepada dewa Kala. Tetapi dewa Kala menolak persembahan tersebut, dan mengatakan bahwa ia ingin memakan daging Sutasoma raja Hastina. Mendengar itu raja Purusada pun pergi ke Hastina dan menghadap Sutasoma, lalu menceritakan apa yang telah ia lakukan dan apa pula niat dewa Kala. Sutasoma tidak berkeberatan dengan ajukan Purusada untuk menghadap dewa Kala. Kepadanya Sutasoma berkata bahwa ia bersedia menjadi mangsa dewa Kala asalkan ia membebaskan seratus orang raja yang telah diserahkan oleh Purusada padanya dibebaskan.
Mendengar ucapan Sutasoma itu raja Purusada terperanjat. Tak ia sangka Sutasoma demikian rendah hati dan rela menebus segala kejahatan yang ia lakukan. Ia merasa bersalah dan berdosa atas tindakan-tindakannya, lalu bertobat dan sejak itu tidak lagi memakan daging manusia.
Selanjutnya Sutasoma kembali ke kerajaan, dan memerintah Hastina yang menjadi kerajaan aman dan sentosa hingga akhir hayatnya. (MG06/09)
---0---

Rabu, 10 Juni 2009

Indische Partij

Lahirnya
INDISCHE PARTIJ
(6 September 1912)
Meski dalam hal nama partai ini ‘tidak nasionalis’, tetapi sejarah membuktikan bahwa partai ini adalah partai nasionalis yang pertama lahir di bumi Indonesia. Usianya memang pendek, hanya 6 bulan. Tetapi betapapun harus kita akui ia adalah sebuah partai besar yang dipimpin oleh orang-orang besar yang jiwa nasionalismenya tak perlu diragukan lagi.
Dimulai De Indische Bond dan Insulinde
Beberapa dasa warsa sebelum berakhirnya abad XIX ditandai dengan banyak hal yang berhubungan dengan keberadaan Belanda di bumi Nusantara. Pada 1865 kaum liberalis mencapai kemenangan politik di Negeri Belanda. Kemenangan ini membawa perubahan tata politik beserta kebijakannya di Negara tersebut, yang akhirnya terbawa juga ke tanah jajahan. Di antara yang terakhir ini ialah dihapuskannya Cultuurstelsel secara resmi pada 1870, dan sebagai gantinya diterapkanlah politik liberal yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Politik Pintu Terbuka.
Dalam pengejawantahannya politik tersebut membuka pintu seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk membuka usaha di tanah jajahan. Kesempatan ini kemudian lebih dipermudah lagi dengan lahirnya UU Agraria (Agrarische Wet) 1870 yang di antara azas pokoknya ialah pihak swasta diberikan hak penguasaan atas tanah paling lama 75 tahun. Ini tentu angin yang amat segar bagi kaum bermodal di Negeri Belanda. Apa lagi saat itu mencapai tanah jajahan tidaklah sesukar masa sebelumnya, mengingat 1869 terusan Suez telah dibuka untuk pelayaran internasional. Pemotongan jarak sepanjang 8.600 km akibat adanya terusan itu benar-benar sesuatu yang berarti. Hindia Belanda kini “lebih dekat”, dan perjalanan ke sana kini jauh lebih mudah.
Karena hal-hal tersebut maka teristimewa sejak 1870 orang-orang Belanda pun mulai berbondong-bondong datang ke Nusantara. Sebagian di antaranya adalah kaum pemilik modal yang ingin berinvestasi terutama di bidang perkebunan (kopi, tembakau, teh, kina, dan tebu), sebagian lain adalah para tenaga ahli, dan sebagian besar lainnya adalah para pencari kerja. Tampaknya kedatangan orang-orang Belanda dalam jumlah yang besar dan memakan waktu puluhan tahun tersebut berlangsung aman tanpa gejolak apa pun. Mereka semua datang, berinvestasi, bekerja, dan hidup di tengah masyarakat tanah jajahan.
Tetapi keadaan sesungguhnya tidaklah demikian.
Ada pihak yang merasa amat terpukul oleh kedatangan banyak orang Belanda itu, yaitu kaum Indo-Belanda (yang selanjutnya kita sebut kaum Indo saja).
Kaum ini adalah jenis masyarakat dan manusia tersendiri dalam mozaik masyarakat yang berdiam di Hindia Belanda. Meski sebenarnya mereka memiliki tingkat kehidupan yang lebih kurang sama dengan masyarakat pada umumnya, tetapi mereka merasa memiliki cara berpikir lebih maju dan tingkat sosial yang lebih baik daripada masyarakat kebanyakan. Karena hal-hal tersebut mereka secara tak langsung acap menutup diri terha-
dap kaum kebanyakan, dan lebih mendekatkan diri pada Belanda sebagai kelas penguasa serta memiliki tingkatan sosial paling tinggi. Terlalu sukar dicari pada penghujung abad XIX seorang dari warga Indo tersebut tidak bekerja pada Belanda dalam berbagai bentuknya.
Tetapi dengan mengalirnya orang-orang Belanda ke Hindia-Belanda, perlahan-lahan golongan Indo jadi tersingkir. Mereka jadi sakit hati karena dalam berbagai hal orang-orang Belandalah yang lebih diutamakan oleh pemerintah. Lebih dari itu mereka acap pula mendapati bahwa tenaga mereka dihargai dengan murah, dan dalam berbagai persaingan mereka selalu menjadi pihak yang kalah. Pada menjelang tutup abad, ketika orang-orang Belanda makin banyak berdatangan seiring dengan masuknya modal asing dalam jumlah besar, mereka makin terdesak dalam berbagai lapangan.
Guna mengatasi keadaan yang kian memburuk, maka di tahun 1898 golongan Indo mendirikan perkumpulan yang disebut De Indische Bond, dengan tujuan “mengangkat derajat golongan Indo-Eropa dengan jalan mencukupi kepentingan-kepentingan yang bersifat sosial-ekonomis”. Dari cuplikan anggaran dasar tersebut terlihatlah bahwa DIB tak lain adalah sebuah perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib golongan Indo, bahkan pada perkembangan selanjutnya menampakkan bahwa perkumpulan itu menjadi semacam perkumpulan philanthropy (perkumpulan untuk memajukan kesejahteraan manusia terutama menolong mereka yang menderita), bukan perkumpulan yang memiliki semangat juang atau organisasi yang berjuang agar derajat golongan Indo jadi terangkat.
Pada tahun-tahun pertama abad XX terlihat keadaan organisasi itu jadi lemah diakibat-kan oleh para pemimpinnya yang kolot dan kurang prakarsa. Hidupnya jadi kelap-kelip bak pelita kekurangan minyak sehingga menimbulkan rasa tidak puas di kalangan anggotanya. Maka pada tengah dasawarsa pertama abad XX itu DIB terlihat terengah-engah. Dipandang dari segi politik maupun sosial-ekonomi DIB terlihat gagal dalam usahanya merealisasikan tujuan.
Di tahun 1907 DIB yang telah mengalami keretakan parah dalam tubuhnya perlahan-lahan meredup dan akhirnya menjadi organisasi yang hidup segan mati tak mau karena banyak anggotanya yang mengundurkan diri. Sebagian anggotanya yang memiliki ambisi politik lantas membentuk perkumpulan baru di Bandung dengan nama Insulinde. Organisasi ini kemudian menjadi lebih besar dengan bergabungnya beberapa tokoh DIB yang progresif dan menentang keras segala upaya dilakukan oleh golongan tua yang kolot. Pada tahun 1911 Insulinde mengubah taktiknya yaitu dengan merubah Anggaran Dasar dan membuka pintu keanggotaan bagi golongan pribumi (yang kala itu disebut Bumi Putera), Tionghoa, dan golongan lainnya yang menetap di Hindia Belanda.
Tak disangka-sangka akibat perubahan Anggaran Dasar itu banyak di antara anggota yang lama mengundurkan diri, pertama karena mereka bersikap sombong, enggan bercampur dengan kaum pribumi (betapapun mereka adalah golongan bangsa yang memerintah, sedangkan pribumi adalah bangsa yang diperintah), kedua karena terdesak oleh tokoh-tokoh pribumi yang terpelajar akibat pelaksanaan Politik Etika.
Demikian akhirnya perhimpunan Insulinde yang telah bersemboyan “Indie voor Indiers” makin susut anggotanya. Pusatnya lantas pindah ke Semarang di bawah pimpinan Mr. Jeekel dengan keadaan kembang-kempis.
Indische Partij
Gairah perjuangan dan munculnya berbagai gerakan sejak Mei 1908 membuat DIB
yang tak pernah resmi dibubarkan meski sejak 1907 telah menjadi organisasi yang hanya tinggal namanya saja, terjaga dari tidur panjangnya. Pada 17 Desember 1911 DIB mengadakan rapat umum di Jakarta dengan Ernest Douwes Dekker sebagai pembicara tunggal. Agaknya rapat ini tak mencapai hasil seperti yang diharapkan para pengurusnya, yaitu membangun kembali organisasi yang telah tercerai-berai itu, sehingga DIB kembali tertidur seperti semula.
Namun semangat perjuangan tampaknya mulai bersemi dalam dada para pengurus DIB yang menyadari bahwa mereka tak dapat berpangku tangan saja melihat berbagai perkembangan yang ada. Untuk itu pada 25 Agustus 1912 mereka kembali mengadakan rapat. Meski rapat pertama (17 Desember 1911) dan rapat kali ini memiliki kesamaan, yaitu ingin kembali membangkitkan DIB dari tidur panjangnya, tetapi rapat kali ini diha-diri oleh banyak kaum terpelajar dan tokoh golongan Indo. Untuk yang terakhir ini tercatat di antaranya – selain E.F.E Douwes Dekker – adalah Van der Poel dan Brunsveld van Hulten.
Hal yang menarik, dalam rapat kedua ini ketiga orang tersebut mengajukan usul agar DIB dirombak samasekali untuk memperoleh hasil yang lebih baik demi kepentingan Hindia. Rapat ternyata menerima usul tiga orang dari Bandung tersebut, dan segera menetapkan keputusan untuk membentuk komisi peneliti yang terdiri dari 7 orang:
  1. Ir. Agerbeek
  2. Brunsveld van Hulten
  3. G.P. Charlie
  4. E.C.L. Couvreur
  5. E.F.E. Douwes Dekker
  6. I. Van der Poel
  7. R.H. Tenscher
Panitia Tujuh ini selanjutnya melakukan persiapan-persiapan seperlunya guna mendirikan perhimpunan baru yang lebih segar.
Hanya dalam hitungan hari, persiapan telah beres. Panitia akhirnya mengadakan rapat di Bandung pada 6 September 1912 dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker. Rapat ini mendapat perhatian luarbiasa dan kunjungan dari amat banyak orang karena dalam rapat itulah akan ditentukan ke mana arah DIB selanjutnya.
Dalam rapat itu tampil berturut-turut para pembicara. Van der Poel membahas tentang keanggotaan baru yang sedang dalam persiapan; Tenscher membahas hak Hindia Putera atas tanah Hindia; Brunsveld van Hulten mengulas hari depan Hindia Putera; dan E.F.E. Douwes Dekker berceramah tentang wajib bersaudara antara semua Hindia Putera. Menurutnya Hindia Putera adalah orang-orang yang dilahirkan, bertempat tinggal dan akhirnya dikebumikan di tanah air Hindia. Semua tokoh sepakat bahwa dalam ceramah Douwes Dekker itulah terkandung azas perhimpunan baru yang akan didirikan.
Maka pada hari itu juga perhimpunan baru yang direncanakan itu didirikanlah. Ia diberi nama INDISCHE PARTIJ atau PARTAI HINDIA. Dengan itu pada 6 September 1912 lahirlah sebuah partai baru di persada negeri ini.
---0---