Rabu, 10 Juni 2009

Indische Partij

Lahirnya
INDISCHE PARTIJ
(6 September 1912)
Meski dalam hal nama partai ini ‘tidak nasionalis’, tetapi sejarah membuktikan bahwa partai ini adalah partai nasionalis yang pertama lahir di bumi Indonesia. Usianya memang pendek, hanya 6 bulan. Tetapi betapapun harus kita akui ia adalah sebuah partai besar yang dipimpin oleh orang-orang besar yang jiwa nasionalismenya tak perlu diragukan lagi.
Dimulai De Indische Bond dan Insulinde
Beberapa dasa warsa sebelum berakhirnya abad XIX ditandai dengan banyak hal yang berhubungan dengan keberadaan Belanda di bumi Nusantara. Pada 1865 kaum liberalis mencapai kemenangan politik di Negeri Belanda. Kemenangan ini membawa perubahan tata politik beserta kebijakannya di Negara tersebut, yang akhirnya terbawa juga ke tanah jajahan. Di antara yang terakhir ini ialah dihapuskannya Cultuurstelsel secara resmi pada 1870, dan sebagai gantinya diterapkanlah politik liberal yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Politik Pintu Terbuka.
Dalam pengejawantahannya politik tersebut membuka pintu seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk membuka usaha di tanah jajahan. Kesempatan ini kemudian lebih dipermudah lagi dengan lahirnya UU Agraria (Agrarische Wet) 1870 yang di antara azas pokoknya ialah pihak swasta diberikan hak penguasaan atas tanah paling lama 75 tahun. Ini tentu angin yang amat segar bagi kaum bermodal di Negeri Belanda. Apa lagi saat itu mencapai tanah jajahan tidaklah sesukar masa sebelumnya, mengingat 1869 terusan Suez telah dibuka untuk pelayaran internasional. Pemotongan jarak sepanjang 8.600 km akibat adanya terusan itu benar-benar sesuatu yang berarti. Hindia Belanda kini “lebih dekat”, dan perjalanan ke sana kini jauh lebih mudah.
Karena hal-hal tersebut maka teristimewa sejak 1870 orang-orang Belanda pun mulai berbondong-bondong datang ke Nusantara. Sebagian di antaranya adalah kaum pemilik modal yang ingin berinvestasi terutama di bidang perkebunan (kopi, tembakau, teh, kina, dan tebu), sebagian lain adalah para tenaga ahli, dan sebagian besar lainnya adalah para pencari kerja. Tampaknya kedatangan orang-orang Belanda dalam jumlah yang besar dan memakan waktu puluhan tahun tersebut berlangsung aman tanpa gejolak apa pun. Mereka semua datang, berinvestasi, bekerja, dan hidup di tengah masyarakat tanah jajahan.
Tetapi keadaan sesungguhnya tidaklah demikian.
Ada pihak yang merasa amat terpukul oleh kedatangan banyak orang Belanda itu, yaitu kaum Indo-Belanda (yang selanjutnya kita sebut kaum Indo saja).
Kaum ini adalah jenis masyarakat dan manusia tersendiri dalam mozaik masyarakat yang berdiam di Hindia Belanda. Meski sebenarnya mereka memiliki tingkat kehidupan yang lebih kurang sama dengan masyarakat pada umumnya, tetapi mereka merasa memiliki cara berpikir lebih maju dan tingkat sosial yang lebih baik daripada masyarakat kebanyakan. Karena hal-hal tersebut mereka secara tak langsung acap menutup diri terha-
dap kaum kebanyakan, dan lebih mendekatkan diri pada Belanda sebagai kelas penguasa serta memiliki tingkatan sosial paling tinggi. Terlalu sukar dicari pada penghujung abad XIX seorang dari warga Indo tersebut tidak bekerja pada Belanda dalam berbagai bentuknya.
Tetapi dengan mengalirnya orang-orang Belanda ke Hindia-Belanda, perlahan-lahan golongan Indo jadi tersingkir. Mereka jadi sakit hati karena dalam berbagai hal orang-orang Belandalah yang lebih diutamakan oleh pemerintah. Lebih dari itu mereka acap pula mendapati bahwa tenaga mereka dihargai dengan murah, dan dalam berbagai persaingan mereka selalu menjadi pihak yang kalah. Pada menjelang tutup abad, ketika orang-orang Belanda makin banyak berdatangan seiring dengan masuknya modal asing dalam jumlah besar, mereka makin terdesak dalam berbagai lapangan.
Guna mengatasi keadaan yang kian memburuk, maka di tahun 1898 golongan Indo mendirikan perkumpulan yang disebut De Indische Bond, dengan tujuan “mengangkat derajat golongan Indo-Eropa dengan jalan mencukupi kepentingan-kepentingan yang bersifat sosial-ekonomis”. Dari cuplikan anggaran dasar tersebut terlihatlah bahwa DIB tak lain adalah sebuah perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib golongan Indo, bahkan pada perkembangan selanjutnya menampakkan bahwa perkumpulan itu menjadi semacam perkumpulan philanthropy (perkumpulan untuk memajukan kesejahteraan manusia terutama menolong mereka yang menderita), bukan perkumpulan yang memiliki semangat juang atau organisasi yang berjuang agar derajat golongan Indo jadi terangkat.
Pada tahun-tahun pertama abad XX terlihat keadaan organisasi itu jadi lemah diakibat-kan oleh para pemimpinnya yang kolot dan kurang prakarsa. Hidupnya jadi kelap-kelip bak pelita kekurangan minyak sehingga menimbulkan rasa tidak puas di kalangan anggotanya. Maka pada tengah dasawarsa pertama abad XX itu DIB terlihat terengah-engah. Dipandang dari segi politik maupun sosial-ekonomi DIB terlihat gagal dalam usahanya merealisasikan tujuan.
Di tahun 1907 DIB yang telah mengalami keretakan parah dalam tubuhnya perlahan-lahan meredup dan akhirnya menjadi organisasi yang hidup segan mati tak mau karena banyak anggotanya yang mengundurkan diri. Sebagian anggotanya yang memiliki ambisi politik lantas membentuk perkumpulan baru di Bandung dengan nama Insulinde. Organisasi ini kemudian menjadi lebih besar dengan bergabungnya beberapa tokoh DIB yang progresif dan menentang keras segala upaya dilakukan oleh golongan tua yang kolot. Pada tahun 1911 Insulinde mengubah taktiknya yaitu dengan merubah Anggaran Dasar dan membuka pintu keanggotaan bagi golongan pribumi (yang kala itu disebut Bumi Putera), Tionghoa, dan golongan lainnya yang menetap di Hindia Belanda.
Tak disangka-sangka akibat perubahan Anggaran Dasar itu banyak di antara anggota yang lama mengundurkan diri, pertama karena mereka bersikap sombong, enggan bercampur dengan kaum pribumi (betapapun mereka adalah golongan bangsa yang memerintah, sedangkan pribumi adalah bangsa yang diperintah), kedua karena terdesak oleh tokoh-tokoh pribumi yang terpelajar akibat pelaksanaan Politik Etika.
Demikian akhirnya perhimpunan Insulinde yang telah bersemboyan “Indie voor Indiers” makin susut anggotanya. Pusatnya lantas pindah ke Semarang di bawah pimpinan Mr. Jeekel dengan keadaan kembang-kempis.
Indische Partij
Gairah perjuangan dan munculnya berbagai gerakan sejak Mei 1908 membuat DIB
yang tak pernah resmi dibubarkan meski sejak 1907 telah menjadi organisasi yang hanya tinggal namanya saja, terjaga dari tidur panjangnya. Pada 17 Desember 1911 DIB mengadakan rapat umum di Jakarta dengan Ernest Douwes Dekker sebagai pembicara tunggal. Agaknya rapat ini tak mencapai hasil seperti yang diharapkan para pengurusnya, yaitu membangun kembali organisasi yang telah tercerai-berai itu, sehingga DIB kembali tertidur seperti semula.
Namun semangat perjuangan tampaknya mulai bersemi dalam dada para pengurus DIB yang menyadari bahwa mereka tak dapat berpangku tangan saja melihat berbagai perkembangan yang ada. Untuk itu pada 25 Agustus 1912 mereka kembali mengadakan rapat. Meski rapat pertama (17 Desember 1911) dan rapat kali ini memiliki kesamaan, yaitu ingin kembali membangkitkan DIB dari tidur panjangnya, tetapi rapat kali ini diha-diri oleh banyak kaum terpelajar dan tokoh golongan Indo. Untuk yang terakhir ini tercatat di antaranya – selain E.F.E Douwes Dekker – adalah Van der Poel dan Brunsveld van Hulten.
Hal yang menarik, dalam rapat kedua ini ketiga orang tersebut mengajukan usul agar DIB dirombak samasekali untuk memperoleh hasil yang lebih baik demi kepentingan Hindia. Rapat ternyata menerima usul tiga orang dari Bandung tersebut, dan segera menetapkan keputusan untuk membentuk komisi peneliti yang terdiri dari 7 orang:
  1. Ir. Agerbeek
  2. Brunsveld van Hulten
  3. G.P. Charlie
  4. E.C.L. Couvreur
  5. E.F.E. Douwes Dekker
  6. I. Van der Poel
  7. R.H. Tenscher
Panitia Tujuh ini selanjutnya melakukan persiapan-persiapan seperlunya guna mendirikan perhimpunan baru yang lebih segar.
Hanya dalam hitungan hari, persiapan telah beres. Panitia akhirnya mengadakan rapat di Bandung pada 6 September 1912 dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker. Rapat ini mendapat perhatian luarbiasa dan kunjungan dari amat banyak orang karena dalam rapat itulah akan ditentukan ke mana arah DIB selanjutnya.
Dalam rapat itu tampil berturut-turut para pembicara. Van der Poel membahas tentang keanggotaan baru yang sedang dalam persiapan; Tenscher membahas hak Hindia Putera atas tanah Hindia; Brunsveld van Hulten mengulas hari depan Hindia Putera; dan E.F.E. Douwes Dekker berceramah tentang wajib bersaudara antara semua Hindia Putera. Menurutnya Hindia Putera adalah orang-orang yang dilahirkan, bertempat tinggal dan akhirnya dikebumikan di tanah air Hindia. Semua tokoh sepakat bahwa dalam ceramah Douwes Dekker itulah terkandung azas perhimpunan baru yang akan didirikan.
Maka pada hari itu juga perhimpunan baru yang direncanakan itu didirikanlah. Ia diberi nama INDISCHE PARTIJ atau PARTAI HINDIA. Dengan itu pada 6 September 1912 lahirlah sebuah partai baru di persada negeri ini.
---0---

1 komentar: